JANGAN MENINGGALKAN KADER PMII YANG LEMAH: Tafsir Surah al-Nisa’ Ayat 9 Dengan Pendekatan Mantuq dan Mafhum)

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا 

"Dan hendaklah takut orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraanya. Oleh sebab itu, selayaknya mereka bertaqwa kepada Allah dan berkata benar"

Selain pemahaman secara tersurat (mantuq), dalam ushul fiqh, pemahaman tersirat (mafhum) juga bisa digunakan dalam memahami teks wahyu. Mantuq adalah petunjuk lafal yang disebutkan secara tersurat, sedangkan mafhum adalah petunjuk lafal yang penyebutannya secara tersirat. Selanjutnya mafhum dibagi dua: mafhum mukhalafah dan mafhum muwafaqah. 

Contoh aplikasi dari kedua pendekatan itu dalam ayat al-Qur’an ialah larangan Allah kepada seluruh mukallaf berkata “uff” kepada kedua orang tua yang tertuang dalam surah al-Isra’, “Janganlah berkata ‘uff’ kepada keduanya. Secara mantuq ayat ini melarang berkata “uff” kepada orang tua, dan inilah makna tersuratnya, namun makna lain yang bisa digali dari ayat ini adalah makna tersiratnya. Berdasarkan mafhum muwafaqah, memukul orang tua, menganiaya, menterlantarkan, membunuh, dan segala perbuatan yang lebih parah dari berkata “uff” juga masuk dalam larangan ayat ini. Pemahaman ini tidak disebut secara tersurat (mantuq) dalam kalam, namun mafhum-nya menjadi indikator.

Kembali ke surah al-Nisa’, sebenarnya ayat surah al-Nisa’ di atas berbicara tentang warisan. Laki-laki yang tengah sekarat mewasiatkan sesuatu yang membahayakan keturunannya. Hendaknya mereka khawatir seandainya meninggalkan keturunan yang lemah. Secara mantuq, ayat ini mewanti-wanti para wali agar tidak meninggalkan keturunan atau ahli waris yang lemah. Ibn Kathir dalam tafsirnya menyebutkan riwayat hadis dalam kitab al-Bukhari-Muslim dalam rangka menjelaskan kandungan ayat di atas. 

Suatu ketika Sa‘ad ibn Abi Waqash bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah sesungguhnya saya memiliki harta (hartawan), ahli waris saya cuma seorang anak perempuan, apakah saya akan bersedekan dengan 2/3 hartaku?” Rasul menjawab, “Tidak”, kemudian Sa‘ad bertanya kembali. “Kalau separuh?”, Rasul menjawab, “Jangan”, Sa‘ad  melanjutkan pertanyaannya, “Lalu bagaimana dengan 1/3?”, Rasul menjawab, “Iya 1/3, dan sepertiga itu banyak”. Lebih lanjut Rasulullah menjabarkan, “Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, maka itu lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kedaan miskin, khawatir mereka meminta-minta kepada orang-orang.”

Jika diperhatikan, dalam hal nasab keluarga saja Rasulullah sudah memperingatkan para wali agar tidak meninggalkan mereka dalam keadaan faqir, bahkan 1/3 harta yang disedekahkan oleh Rasulullah sudah tergolong banyak, maka apalagi dalam lingkup nasab organisasi yang lebih banyak melibatkan orang. Jadi secara mantuq, ayat tersebut berbicara tentang warisan dalam nasab keluarga.

Namun dalam memahami ayat, di samping pendekatan mantuq, pendekatan mafhum juga dapat digunakan. Maka dari itu, penulis mengasumsikan berdasarkan pendekatan mafhum muwafaqah, jika dalam nasab keluarga saja para wali diwanti-wanti agar tidak meninggalkan keturunan atau kader yang lemah, maka apalagi dalam nasab keorganisasian yang cakupannya bukan hanya ranah domestik, akan tetapi sampai ranah publik, tergantung sebesar apa organisasi yang dimaksud. Tentunya ayat ini lebih mewanti-wanti lagi daripada nasab keluarga yang terbatas pada ranah domestik. Pemahaman seperti ini dalam ushul fiqih kemudian dikenal dengan Fahwal Khitab.

Jadi di samping mewanti-wanti para wali agar tidak meninggalkan keturunan yang lemah, ayat ini bahkan lebih mewanti-wati para pengurus organisasi agar tidak meninggalkan kader yang lemah. Ciptakanlah kader yang lebih kuat, lebih profesional lagi dibandingkan kader yang saat ini. 

Socrates pernah berpesan,”Jangan paksakan anak-anakmu mengikuti jejakmu, mereka diciptakan untuk kehidupan di zaman mereka, bukan zamanmu.” Dari sini, dapat disarikan bahwa tantangan kader akan terus ada dan heterogen. Jika dulu tantangan mahasiswa berupa rezim yang otoriter, maka saat ini mahasiswa umumnya dan kader-kader PMII khususnya dihadapkan dekadensi nilai-nilai pergerakan, kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan. PMII kepanjangannya adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Jadi ada empat nilai yang perlu dijaga setiap kader, yaitu : pergerakan yang merupakan dinamika seorang hamba menuju tempat idealnya, kemahasiswaan dengan nilai idealismenya, keislaman dengan nilai-nilai universalnya, keadilan, kemerdekaan dan seabrek nilai ketuhanan dan kemanusiaannya, dan keindonesiaan dengan nilai nasionalismenya, pluralisme suku, warna kulit dan ras.

Umtuk membuktikan terkikisnya nilai-nilai pergerakan, kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan, tidak perlu jauh-jauh, bercerminlah dan katakan pada diri anda sendiri, Seperti inikah tempat ideal mahasiswa? Sudahkah saya mengenal Allah? Apakah memang seperti ini kehidupan yang diinginkan-Nya? Bagaimana shalat saya? Apakah sudah seperti yang dikehendakinya? Apa kontribusi saya kepada bangsa ini, jangan-jangan hanya memperbanyak data di dinas kependudukan. Maka dari itu, hendaknya setiap kader menyelami keempat nilai di atas tanpa mengesampingkan salah satu nilai pun agar tidak tercipta kader yang lemah.

Oleh: M. Inul Rizky
Kader PMII STIUDA Cabang Bangkalan

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "JANGAN MENINGGALKAN KADER PMII YANG LEMAH: Tafsir Surah al-Nisa’ Ayat 9 Dengan Pendekatan Mantuq dan Mafhum)"

Tag Terpopuler