TAKLID KEPADA MUJTAHID DALAM PANDANGAN KIAI HASYIM ASY’ARI

Doc; Istimewa

Ijtihād dan taklid merupakan salah satu pembahasan penting dalam Usul Fiqh. Imam Abū al-Ma’ālī al-Juwaynī, guru Imam al-Ghazālī  dalam “al-Waraqāt” menyandingkan kedua pembahasan  tersebut, pembahasan dalam satu sub bab. Taklid dalam pandangan beliau ialah menerima perkataan seseorang tanpa hujjah. Maka berdasarkan definisi ini, menerima perkataan Nabi tidak termasuk taklid. Sebab perkataan beliau merupakan hujjah itu sendiri. Selain definisi itu, Imam al-Juwaynī menyebutkan pengertian lain, yaitu menerima perkataan orang lain tanpa mengetahui sumbernya dari mana.

Mengingat hal itu merupakan pembahasan yang urgen untuk menjadi perhatian ulama sejak dulu, maka perlu disampaikan pandangan salah satu ulama karismatik asli Indonesia, yaitu Kiai Hasyim Asy’ari, kakek Gus Dur dari pihak ayah. Sebagaimana ulama pendahulunya, Kiai Hasyim Asy’ari juga menuangkan pandangannya tentang taklid dalam kitab yang bertajuk “Risālah Ahlu Sunnah wal-Jamā’ah”.

Sebelum masuk lebih dalam ke pemikiran beliau, ada baiknya penulis menyebutkan genealogi (garis keturunan) Kiai Hasyim Asy’ari. Aksin Wijaya menyebutkan bahwa ayahnya bernama Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid bin Abdul Halim (populer dengan Pangeran Banawa bin Abdurrahman) atau Jaka Tingkir (Pangeran Hadi Wijaya) bin Abullah bin Abdul Aziz bin Abdul Fatah bin Maulana Ishaq bin Ainul Yakin yang dikenal dengan Sunan Giri.

Sedangkan dari jalur ibunya, Kiai Hasyim Asy’ari bernama Muhammad Hasyim bin Halimah binti Layyinah binti Shihab bin Abdul Jabbar bin Ahmad bin Pangeran Sambo bin Pangeran Banawa bin Joko Tingkir alias Karebet bin Prabu Brawijaya VI (Lembepeteng). Sehingga menurutnya di dalam diri Muhammad Hasyim mengalir darah ulama dan bangsawan. Dan yang perlu diperhatikan ialah, Kiai Hasyim menjadi ulama besar bukan hanya mengandalkan nasab beliau, akan tetapi kerja keras dan kerja cerdas.

Dalam “Risālah Ahlu Sunnah wal-Jamā’ah” Kiai Hasyim Asy ’ari menyatakan bahwa orang yang tidak memiliki kecakapan sebagai mujtahid mutlak wajib bertaklid kepada para mujtahid dan mengambil fatwa mereka, meskipun dia memiliki sebagian ilmu yang menjadi persyaratan untuk berijtihad. Pandangannya ini menurut beliau merupakan pandangan jumhur ulama. Di samping itu, menurutnya hal ini berdasarkan firman Allah berikut,

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون.

"Bertanyalah kepada ahl al-dhikr jika kalian tidak mengetahui"

Dalam ayat ini Allah mewajibkan bertanya bagi orang yang tidak tahu. Bertanya sama dengan bertaklid kepada orang alim. Di samping itu orang awam di zaman sahabat dan tabiin meminta fatwa kepada mujtahid dan mengikutinya tanpa menyebutkan dalil. Jadi jangan dikira orang-orang di zaman sahabat semuanya memiliki kecakapan berijtihad, sebagian tidak memilikinya. Tidak hanya itu, pemahaman orang awam terhadap al-Qur’an dan hadis tidak dianggap (sāqiṭ ‘an ḥayz al-i’tibār)

Namun demikian, menurutnya orang awam tidak wajib menetap di satu mazhab dalam setiap persoalan, seperti awam yang bermazhab Syafii, ia boleh pindah ke mazhab yang lain selain mazhab Syafii. Taklid setelah beramal hukumnya boleh. Jika ada orang yang bermazhab Syafii usai menunaikan sholat dan ia menyangka bahwa sholatnya sah menurut mazhab Syafii, tapi ternyata batal (tidak sah), sedangkan di mazhab yang lain sholat yang sudah ia tunaikan dinilai sah, maka ia boleh bertaklid kepada mazhab yang mengesahkan itu, serta mencukupkan dengan sholat itu. Selain itu, seseorang bisa bertaklid kepada imam tertentu dalam sholat Asar dan bertaklid kepada imam lain saat sholat Zuhur.

Selain pandangan itu, Kiai Hasyim Asy’ari juga memaparkan pendapat yang mewajikan seseorang untuk bertaklid pada satu mazhab saja. Alasannya, jika seseorang sudah meyakini mazhab yang dia ikuti itu benar, maka dia harus mengikuti keyakinannya itu. Dari kedua pandangan ini, hemat penulis pandangan pertamalah yang lebih cocok dengan perkmebangan zaman saat ini. Mengikuti satu mazhab saja sering kali menyebabkan kesulitan bagi diri sendiri. Dan yang perlu diperhatikan bahwa tujuan dari syariah (maqāṣid al-sharī’ah) adalah mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia dengan menghilangkan beban, menolak bahaya dan mendatangkan manfaat.


Oleh: Sahabat M. Inul Rizkiy (Koordinator Keagamaan PK PMII STIUDA Bangkalan)



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "TAKLID KEPADA MUJTAHID DALAM PANDANGAN KIAI HASYIM ASY’ARI" 1 Response to "TAKLID KEPADA MUJTAHID DALAM PANDANGAN KIAI HASYIM ASY’ARI"

Posting Komentar

Tag Terpopuler