ETIKA KOMUNIKASI LISAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN

 



Kemampuan berbicara merupakan salah satu potensi bawaan (Fitrah) yang telah Allah anugerahkan kepada hamba-Nya yakni manusia. karena, hanya manusia satu-satunya hamba Allah yang diberikan karunia berbicara. Dengan kemampuan berbicara inilah manusia membangun hubungan sosial dengan sesama manusia. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Rahman ayat 2 yang berbunyi “عَلَّمَهُ الْبَيَان”.

Kemampuan bicara berarti kemampuan seseorang untuk berkomunikasi, berkomunikasi adalah sesuatu yang dihajatkan setiap kegiatan manusia. kemampuan berkomunikasi merupakan salah satu pembeda manusia dengan makhluk Allah yang lainnya. Jika kita melihat realita di lapangan, manusia berinteraksi dengan sesama jenis atau lawan jenis dengan pencapayan kurang-lebih 70%, mulai dari bangun tidur hingga berinteraksi dengan manusia lain sehingga menumbuhkan rasa persahabatan, rasa saling memelihara, kasih sayang, menyertakan pengetahuan, dan melestarikan peradaban.

Namun, tidak semua manusia dapat atau bisa berbicara. Meskipun pada dasarnya bicara merupakan salah satu fitrah Tuhan yang telah dianugerahkan terhadap hamba-Nya yakni manusia. Ada sebagian manusia yang tidak bisa berbicara dengan jelas istilah ini biasa dikatakan Tunawicara. Biasanya ia berkomunikasi dengan cara Isyarat bukan langsung dengan lisannya. Namun, penulis tidak akan membahas terkait hal tersebut.

Dalam tulisan ini penulis akan membahas terkait bagaimana manusi berkomunikasi dengan lisannya. Tanpa menyakiti atau menyinggung hati orang lain dengan penulisan secara tahlili. Maka dari itu penulis mengakaji ayat al-Qur’an dalam surah al-Hajj ayat 24 sebagai berikut:

وَهُدُوا إِلَى الطَّيِّبِ مِنَ الْقَوْلِ وَهُدُوا إِلَىٰ صِرَاطِ الْحَمِيدِ

“Dan mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik dan ditunjuki (pula) kepada jalan (Allah) yang terpuji.

Selanjutnya akan dibahas arti dari ayat di atas secara satu persatu. Yang pertama terkait lafal وهُدُوا merupakan bentuk ‘amr dari kalimat fi’il madi هديًا هَدَى – يَهْدي – yang artinya memberi petunjuk, menunjukkan sedangkan yang kedua lafal الى merupakan salah satu huruf Jer yang memiliki faidah intihau al-Ghayah artinya sampai. ketiga lafal الطيب lafal tersebut menjadi majrur dari lafal الى tanda jar-nya yakni kasrah di akhir asal lafal tersebut adalah طَيِّبٌ yang artinya yang baik atau yang bagus sedangkan ال di sana merupakan tanda bahwa طيب adalah kalimat isim. Selanjutnya lafal من adalah huruf jar yang memiliki faidah ibtidau al ghayah yakni memulai, dan lafal القول yang kedudukannya sama seperti الطيب yakni menjadi majur dari huruf jar sebelumnya. Lalu lafal وهدوا ini sama dengan lafal yang sebelumnya sedangkan wawu nya merupakan huruf ataf. Maka lanjut pada lafal الي صراط الحميد kalimat tersebut adalah susunan jar majrur sekaligus idhafah صراط menjadi majrur dari الى dan menjadi mudaf dari الحميد sedangkan lafal الحميد menjadi mudaf ilaih.

Maka diambil makna mujmal dari uraian i’rab di atas bahwa ayat ini merupakan ayat yang membahas terkait cara manusia bertutur kata dengan baik dan bernar, berbicara dengan menggunakan etika yang sudah diajarkan oleh syari’at. Berangkat dari makna mujmal tersebut maka penulis akan menambahkan penafsiran terkait surat di atas dengan menggunakan tafsir al-misbah karya Quraish Shihab sebagai berikut.

 “Dan bagi ruhani mereka diberi petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik yakni diilhami Allah untuk mengucapkan kalimat indah dan benar dan ditunjuki pula jalan Allah yang luas dan terpuji. Petunjuk kepada ucapan-ucapan yang baik, antara lain berarti ucapan yang benar dan indah susunan kata-katanya, serta mencakup segala apa yang dimaksud oleh pembicara dan sesuai pula dengan kondisi mitra bicara”.

Maka dari itu, dari tulisan yang telah diuraikan oleh penulis maka dapat disimpulkan, anjuran berkomunikasi yang baik dengan menggunakan lisan dalam perspektif al-Qur’an dapat ditarik ujung benang merahnya; bahwa bagi mutakllim (pembicara) dan mukhatab (lawan bicara) harus saling bersopan-santun, apalagi ketika berkomunikasi menggunakan lisan atau komunikasi secara langsung, diperkenankan untuk menggunakan bahasa yang indah dan benar (bahasa halus) dan suara yang tenang dan tidak membesarkan atau meninggikan suara suara.


Penulis: Sahabati Muarrofah Az-Zahry (Kader PMII STIUDA Cabang Bangkalan)

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ETIKA KOMUNIKASI LISAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN" 1 Response to "ETIKA KOMUNIKASI LISAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN"

Posting Komentar

Tag Terpopuler