HUKUM WARISAN ANAK ZINA & ANAK ANGKAT PERSPEKTIF ISLAM

 

Keluarga islami.com

Sahabatliterasi.Com–Dalam ajaran Islam anak adalah nikmat yang dikaruniakan kepada hambanya sekaligus amanah yang harus dijaga dan dipelihara, setiap orang tua pasti memiliki ikatan dengan anaknya, dengan ikatan istimewa yang tidak terdapat pada hubungan lain. Namun adakalanya dapat terjadi tanpa adanya ikatan yang sah apabila terjadi hubungan yang diharamkan seperti orang yang memiliki anak diluar nikah atau disebut anak hasil zina, atau ikatan antara anak dan orang tua juga tidak selalu dengan orang tua kandung, seperti seorang anak angkat pun dapat memiliki ikatan yang kuat terhadap orang tua angkatnya.

Jika membahas masalah anak maka tidak lepas dari masalah pewarisan terhadapnya, al-Qur’an telah menjelaskan beberapa kelompok ahli waris adalah orang orang yang memiliki ikatan perkawinan dan keluarga terdekat dengan orang yang meninggal dunia.

Dalam Kitab Ahkamul Mawāriś fīl Fiqhil Islami disebutkan bahwasannya “ anak zina adalah anak yang lahir bukan dari hubungan nikah yang sah secara syar’i atau dengan kata lain , buah dari hubungan haram antara laki- laki dan wanita.

Dengan demikian anak hasil zina adalah anak yang lahir dari seorang perempuan yang telah melakukan hubungan kelamin dengan seorang laki-laki,yang keduannya tidak ada pernikahan yang sah. Perbuatan Zina merupakan dosa besar dan akibatnya merusak keturunan dan menggangu keamanan serta mengancam susunan kekeluargaan serta kebersihannya. Islam menjaga kebersihan dalam segala bidang dan yang bersih tidak boleh dicampur dengan yang kotor.

Dalam hukum Islam anak zina disebut dengan anak mula’anah yang mana anak tersebut anak yang berasal atau yang dilahirkan dari hubungan yang tidak diakui oleh agama dan hukum atau biasanya disebut dengan anak haram. Dalam hukum Islam anak zina mempunyai hak atas waris kepada ibunya.

Menurut Imam Malik dan Syafi’i anak yang dilahirkan sebelum enam bulan dari pernikahan orang tuanya maka dinasabkan kepada ibunya saja, karena diduga ibunya telah berhubungan badan dengan orang lain, karena batas waktu hamil minimal enam bulan.

Sedangkan Anak angkat seringkali dipahami sebagai pengambilan anak orang lain untuk dijadikan sebagai seperti anak sendiri. Menurut Soerojo Wignjodipoero mengatakan bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan atau tindakan pengambilan anak orang lain ke keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.

 Dalam agama Islam pada esensinya tidak melarang praktek pengangkatan anak atau adopsi, sejauh tidak mempengaruhi dan tidak merubah hubungan nasab dan hubungan keturunan antara anak kandung dengan orang tua kandungnya, atau hubungan antara anak dengan orang tua aslinya. Akan tetapi dalam ajaran Islam akan melarang pengangkatan anak dikala pengangkatan anak itu akan menimbulkan masalah dan problem, yaitu jika berakibat putusnya hubungan anak itu dengan orang tua kandungnya.

Mahmud Syaltut, berpendapat bahwa ada dua pengertian anak angkat yang berbeda, yaitu: pertama: At-Tabanni adalah seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang maupun nafkah (biaya hidup) tanpa ia memandang perbedaan. Meskipun demikian dalam agama Islam tidak menganggap sebagai anak kandung, karena hal tersebut tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung. Bentuk pengangkatan anak yang kedua: bahwa At-Tabanni adalah seseorang yang tidak memiliki anak, kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu menjadikan sebagai anak sah. Pendidikan, pelayanan kesehatan, dan hak-haknya dengan status anak kandung.

Istilah status anak angkat itu hanya sekedar mendapatkan pemeliharaan nafkah (biaya hidup), perawatan terhadap anak dan kasih sayang dari orangtua angkatnya, dan ada juga yang menggambarkan pengangkatan anak sebagaimana yang terjadi pada zaman jahiliyah yang mempersamakan status anak angkat sebagai anak kandung dan memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya. Oleh karena itu, anak angkat berhak menjadi ahli waris dan memperoleh warisan sebagaimana hak warisan yang diperoleh anak kandung. sedangkan anak angkat dapat memperoleh warisan dengan cara diberi hibah oleh pewaris.


Penulis: Maswenah (Kader KOPRI PMII STIUDA)

Editor: Redaksi 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "HUKUM WARISAN ANAK ZINA & ANAK ANGKAT PERSPEKTIF ISLAM" 1 Response to "HUKUM WARISAN ANAK ZINA & ANAK ANGKAT PERSPEKTIF ISLAM"

Posting Komentar

Tag Terpopuler