MENYOAL RUU PENYIARAN: DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA

 

Kebebasan berekspresi dan menyampaikan aspirasi sudah dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Indonesia sebagai negara hukum harus konsekuen terhadap pernyataan yang ada dalam peraturan perundang-undangan, sah dan segala bentuk upaya pengekangan terhadap kebebasan berpendapat dan meyampaikan pikiran tidak dibatasi dengan alasan tidak logis. Dan hari ini masyarakat sedang dilematis terhadap keberadaan RUU Penyiaran yang diduga akan memberikan batasan yang cukup ketat terhadap kebebasan berpendapat.

 RUU Penyiaran merupakan revisi dari Undang Undang Penyiaran No.32 tahun 2002 yang merupakan produk lembaga legislatif di masa awal reformasi. RUU Penyiaran pertama kali diusulkan menjadi UU sejak periode DPR-RI tahun 2009-2014 dan 2014-2019 namun selalu gagal ditetapkan menjadi UU. Namun pada akhirnya RUU penyiaran kembali ramai diperbincangkan oleh publik, bukan semata-mata lantaran adanya undang-undang baru yang akan menjadi peraturan, namun adanya beberapa hal yang dianggap kontroversi oleh publik.

 Alasan kenapa kemudian RUU Penyiaran ini akan dijadikan sebagai undang-undang, karena dua hal: pertama, sistem Penyiaran di Indonesia telah berubah dari Sistem Penyiaran Analog menjadi Sistem Penyiaran Digital (sesuai dengan amanat Pasal 60A UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja) kedua, hal ini mengubah lebih dari 50% pengaturan penyiaran dalam UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Keberadaan RUU Penyiaran memengaruhi kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia selaku Regulator Penyiaran, yang awalnya sebatas pada penyiaran Analog menjadi lebih luas ke penyiaran digital.

 Namun RUU penyiaran ini menjadi polemik nyata apabila disorot dari keseimbangan antara regulasi untuk mengatur industri penyiaran dan kebebasan pers sebagai hak asasi dalam masyarakat demokratis. Hal demikian terjadi dikarenakan dalam prosesnya dianggap tidak sesuai dengan adanya ketentuan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Kritik terhadap revisi RUU Penyiaran tentunya menyoroti bagaimana proses penyusunannya. Dan RUU Penyiaran dianggap kurang transparan dan partisipatif, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa undang-undang ini tidak mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Aktivis dan praktisi media menggaris bawahi bahwa proses yang tidak melibatkan semua pihak ini dapat menghasilkan undang-undang yang menghambat pluralitas media dan akses informasi publik, membatasi kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam diskusi kepentingan publik, serta mengancam keberagaman opini dan jurnalisme independen.

 Polemik yang terjadi bukan hanya dari proses pembentukannya, namun juga dalam RUU Penyiaran ini terdapat beberapa pasal yang dianggap mengancam kebebasan berpendapat yang menjadi elemen vital dalam sistem demokrasi di indonesia. Beberapa pasal yang dianggap kontoversi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pasal 8A huruf q: Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran merupakan tugas dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

2. Pasal 42 ayat 2: Penyelesaiaan sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undangan yang berlaku.

3. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c): Larangan penayangan ekslusif jurnalistik investigasi.

 Menyorot pada Pasal 8A huruf q, terdapat sentimen antara kegiatan jurnalistik yang ranahnya seharusnya berada di dewan pers, namun pada pasal tersebut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dapat menintervensi adanya kegiatan jurnalistik. Maka tidak heran apabila kemudian, publik menilai jika KPI yang ranah awalnya di bidang penyiaran saja akan mengawai kegiatan jurnalistik yang memiliki ranahnya sendiri. Dalam hal KPI dihawatirkan akan membatasi kegiatan jurnalistik dengan standar mereka.

 Selanjutnya pada Pasal 42 ayat 2, dijelaskan bahwa apabila ada sengketa kegiatan jurnalistik akan diselesaikan oleh KPI. Padalah sengketa dalam kegiatan jurnalistik ada di bawah tanggung jawab dewan pers yang wewenangnya memang menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. Pasal tersebut seakan mengambil alih fungsi dewan pers yang sudah berwenang dan memiliki tanggung jawab sedari awal tentang sengketa dalam ranah jurnalistik.

 Kemudian Pasal 50 B ayat 2 huruf (c), perlu diperhatikan bahwasanya kegiatan investigasi adalah proses pengumpulan informasi atas suatu gejala tindakan kejahatan dalam berbagai sektor, baik pidana, administratif, korporasi dan lain sebagainya. Kegiatan bertujuan untuk menemukan fakta dari adanya dugaan kejahatan yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Namun dalam pasal tersebut investigasi akan dibatasi tanpa alasan rasional. Perlu dipertanyakan tentunya kenapa kemudian kegiatan investigasi ini akan dibatasi, siapakah yang merasa dirugikan sehingga pasal tersebut ada dalam RUU Penyiaran.

 Mengenai RUU Penyiaran dan dampaknya terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi terutama dalam ranah jurnalisme investigasi dan kebebasan pers merupakan refleksi dari adanya kompleksitas dinamika media yang semakin beragam dan juga keberlangsungan kegiatan penyiaran yang diharapkan bisa semakin baik di Indonesia. Dari hal tersebutlah, ada juga pandangan bahwa RUU Penyiaran diperlukan untuk meningkatkan tata kelola media yang lebih baik dan menyesuaikan regulasi dengan perkembangan teknologi dan dinamika media digital. Karena melihat fakta yang ada sekarang, terbukti memang keberadaan informasi yang membanjiri media dijital dengan berbagai unsur yang berbeda. Tentu informasi yang kian hari semakin sulit dibendung tersebut memiliki unsur-unsur negatif yang perlu ditanggapi dengan serius demi keberlangsungan kehidupan masyarakat yang lebih baik nantinya.

 Dan mengenai perdebatan yang cukup kompleks akhir-akhir ini harus disikapi dengan cara yang demokratis. Para pihak yang merasa berkepentingan harus bisa menyikapi dengan seksama, dengan memerhatikan berbagai kepentingan yang ada. Baik dari sisi pemerintahan yang akan menjalankan tata kelolo negara dan juga masyarakat yang sangat penting diperhatikan keberlangsungan hidupnya. Terlebih Indonesia sebagai negara demokrasi harusnya memegang teguh cara-cara demokratis untuk menyikapi persoalan publik.


Oleh    : Riski

Editor : Tim Redaksi

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "MENYOAL RUU PENYIARAN: DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA" 1 Response to "MENYOAL RUU PENYIARAN: DINAMIKA DAN PROBLEMATIKA"

Posting Komentar

Tag Terpopuler